PENDAHULUAN
Keberadaan suatu institusi yang
bernama negara tidak dapat dielakkan, hal ini karena kodrat manusia sebagai
makhluk sosial membutuhkan perangkat yang menjadi ikatan kebersamaan dalam
kontrak sosial antar manusia. Perangkat institusi yang bernama negara diharapkan
menjadi wadah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari
sengketa atau konflik dan menjaga kedamaian sosial. Dengan alasan tersebut,
maka negara memiliki faktor penting dalam kehidupan manusia.
Dalam politik global, hanya ada tiga
kutub paradigma yaitu Paradigma Sosialisme Komunis, Paradigma Liberalisme
Kapitalis, dan Paradigma Islam. Ideologi itu sendiri diterjemahkan sebagai
sistem pedoman hidup yang menjadi cita-cita untuk dicapai oleh sebagian besar
individu dalam masyarakat yang bersifat khusus, disusun secara sadar oleh para
tokoh pemikir negara, dan kemudian menyebarluaskannya secara resmi sebagai
Dasar Negara.
Sistem negara-negara Islam sangat
jauh berbeda dengan sistem negara-negara yang bukan Islam dalam politik global.
Negara Islam memiliki tafsiran dan bentuk yang khusus dan istimewa tentang
pemerintahan. Tafsirannya jauh lebih bijaksana dan adil dari pada ajaran-ajaran
lainnya. Hal ini mungkin tidak jelas kalau kita bandingkan dengan negara-negara
Islam yang ada di dunia hari ini. Sebab negara-negara Islam hari ini tidak
menjalankan Islam yang syumul (menyeluruh). Mereka tidak mengikuti jejak
sejarah kegemilangan Islam di zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
Negara-negara Islam dalam sistem
pemerintahan yang menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan dalam
semua aspek hidup, seperti dasar
undang-undang, mahkamah perundangan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan
lain-lain. Dasar negaranya adalah Al Qur’an dan Sunnah. Para pemimpin dan
pegawai-pegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik, bertanggung jawab,
jujur, amanah, adil, berakhlak mulia dan bertakwa.
Maka dalam makalah yang sangat
sederhana ini akan melihat lebih jauh mengenai negara-negara Islam dalam
politik global.
Pengertian
Negara-negara Islam
Secara literal istilah negara
merupakan terjemahan dari berbagai kata asing : state (Inggris), staat
(Belanda dan Jerman) atau etat (Prancis). Sedangkan
secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam
suatu kawasan dan mempunyia pemerintah yang berdaulat.
Menurut Roger H. Soltau, negara
merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wawenang (authority) yang
mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat.
Max Weber mendefinisikan negara dengan sebuah masyarakat yang mempunyai
monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
Dalam konsepsi Islam, menurut
kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’)
tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak secara
tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya
memuat prinsip-prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep
yang pasti tentang negara telah melhirkan beragam pemikiran tentang konsep
negara dalam tradisi pemikiran politik Islam.[1]
Selain itu, konsep Islam tentang
negara juga berasal dari (tiga) paradigma, yaitu :
a.
Paradigma
tentang teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah Saw,
terutama biasanya merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin.
b.
Paradigma
yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
c.
Paradigma
yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.[2]
Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami sebagai
suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka bumi ini untuk
memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt, maupun Rasul-Nya.
Adapaun cara pelaksanaannya Al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci,
tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah, Amien
lebuh lanjut mengatakan bahwa kata Imamah (dalam pengertian negara/
state) dalam al-Qur’an tidak tertulis.
Imam Mawardi mengatakan : “Imamah adalah suatu kedudukan yang
diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam)
dan mengendalikan dunia”. Bagi Ibnu Khaldun, institusi khilafah atau imamah
adalah lembaga politik yang memerintah rakyat sesuai dengan peraturan syariah
agama untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan
akhirnya adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus
berpedoman kepada syariah.
Sedangkan Islam (bahasa Arab, al-islam, الاسلام “berserah
diri kepada Tuhan”) adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama
ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya
diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim.
Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut diseluruh dunia,
menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia. Pengikut ajaran Islam
dikenal dengan sebutan Muslim, adapun lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi
laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan
firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini
dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi dan Rasul terakhir
yang di utus kedunia oleh Allah. Dan tidak dibenarkan mencari agama selain
agama Islam, Qs Ali Imran : 85,[3]
Islam adalah agama terbesar kedua setelah kristen. Menurut sebuah
studi demografis, Islam memiliki 1,57 milyar pengikut, membuat naik 23% dari
populasi dunia. Islam adalah agama dominan di Timjur Tengah, di Afrika, di
utara Afrika dan dalam beberapa negara di Asia, komunitas besar muslim juga
ditemukan di China, Balkan dan Russia. Bagian lain dari dunia tuan komunitas
besar Imigran muslim di Eropa Barat. Misalnya, Islam adalah agama terbesar
kedua setelah Kristen, meskipun mewakili kurang dari 5% dari total populasi.
Sekitar 50 Negara mayoritas Muslim, sekitar dari 62% dari dunia
Muslim tinggal di Asia, dengan lebih dari 683.000.000 pengikut, Negara Muslim
terbesar adalah Indonesia rumah bagi 12,9% muslim di dunia, diikuti oleh
Pakistan, India dan Bangladesh, sekitar 20% muslim tinggal di negara-negara
Arab. Di Timur Tengah non-negara Arab dari Turki dan Iran adalah mayoritas
muslim terbesar, negara di Afrika, Mesir dan Nigeria memiliki komunitas muslim
terbesar di dunia.
Sebuah studi demografi yang di lakukan oleh Pew Reseach Senter
pada bulan Oktober 2009 menemukan bahwa ada 1,57 muslim di seluruh dunia,
akuntansi darisekitar 1 dari 4 orang. Studi ini menemukan lebih banyak muslim
di Jerman dari pada di Libanon, dan lebih di China dari pada di Suriah.
Maka dapatlah di pahami bahwasanya negara-negara Islam adalah suatu
daerah teritorial yang rakyatnya di
perintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari
warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist.[4]
Bentuk Negara Islam
Suatu negara disebut sebagai Negara
Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam
merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksistensinya Negara Islam. Sejarah
telah mencatat bahwa abad ke-15 hingga 20 merupakan fase ketika Eropa berdiaspora dan menyebar ke dunia Timur
dalam rangka imperialisasi dan
kolonialisasi. Secara tidak langsung, ekspansi Eropa ini telah memberikan andil
terhadap kebangkitan Islam, yaitu membidangi lahirnya sederetan tokoh-tokoh
pembaharu Islam. Fokus pergerakan mereka tidak hanya menumpaskan penjajahan,
tetapi juga mendirikan kerangka atau konsep dasar tentang negara yang dilandasi
oleh agama.
Rasulullah Saw bersabda: “Dahulu
bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para para Nabi. Setiap kali
seorang Nabi meninggal, digantikanoleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan
ada Nabi sesudahku. (tetapi) nanti akan ada para Khulafa dan jumlahnya akan
banyak sekali”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut pengertian bahasa Arab,
khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah Saw bahwa tidak
akan ada lagi nabi sesudah beliau, maka pengganti disini berfungsi menggantikan
kedudukan beliau sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar
yang menyandang gelaran Khilafatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai
Ketua Negara). Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah
sebagai berikut: “Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara
keseluruhan di dunia untuk melaksanakan undang-undang Islam dan mengembangkan
ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia”.
Dalam masalah yang sama, Ibnu
Khaldun menyatakan: “Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syar’I (yaitu seseorang
yang bertugas memelihara dan melaksanakan syari’at) dalam memelihara urusan
agama dan mengelola dunia”. Tentang bentuk negara khalifah ini, Rasulullah Saw
telah menegaskannya dalam Hadist riwayat al-Bazzar: “…kemudian akan
muncul(kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian…”
Berdasarkan penjelasan di atas,
Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif maupun
praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi
sampai runtuhnhya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924.
Dengan demikian, tampaknya khilafah yang di maksudkan adalah bentuk
kepemimpinan dari suatu pemerintahan Islam sebagai suatu kekuatan sosiorelegi
politik umat dalam mencapai dua kepentingan hidupnya, yaitu kehidupan dunia dan
akhirat.
Jika telah diakui bahwa lembaga
imamah itu adalah wajb menurut ijma’(konsesus umum), maka harus pula
ditambahkan di sini, bahwa keperluan lembaga ini adalah satu fardl al-kifayah,
dan mengenai itu terserah kepada ikhtiar dari pemuka-pemuka Islam yang kompeten
(Ar. Ahl al-‘aqd wa al-hill). Adalah kewajiban mereka untuk berbuat agar imamah
itu sendiri, dan setiap orang wajib taat kepada Imam sesuai dengan perintah
Al-Qur’an: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pada mereka yang
dikuasakan di antara kamu!” (Al-Qur’an IV:59). Lembaga Imamah itu mempunyai 4
syarat, yaitu :
a.
Ilmu
Pengetahuan (Ar. Al-‘ilm), Imam hanya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah itu
jika ia mengetahui tentangnya.
b.
Keadilan
(Ar. Al-‘adalah), hal ini perlu karena Imamah adalah satu lembaga keagamaan
yang mengawasi segala lembaga-lembaga lainnya yang pula memerlukan keadilan.
c.
Kesanggupan
(Ar Al-kifayah), berarti bahwa Imam bersedia melaksanakan hukuman-hukuman yang
ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang.
d.
Kebebasan
pancaindera dari sesuatu cacat yang dapat memberi bekas pada pengeluaran
pendapat dan pekerjaan (Ar. As-salamah).[5]
Ibnu Khaldun mengutarakan peran penting agama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurutnya, apabila kekuatan agama
berdampingan dengan solidaritas kelompok (‘ashabiyah), secara dialektis akan
memberikan konstribusi besar dalam mewujudkan integritas kekuasaan politik.
Sebaliknya, apabila agama dan ‘ashabiyah
dipertentangkan akan mempercepat munculnya disentegrasi suatu negara.
Dari berbagai peranan tersebut, setidaknya empat peran agama yang besar
andilnya dalam kehidupan bernegara sepanjang sejarah.
a.
Agama
merupakan pedoman dan petunjuk agar senantiasa berada dalam bimbingan moral,
hukum, dan etika.
b.
Agama
sebagai pemersatu
c.
Agama
sebagai pendorong keberhasilan
d.
Agama
sebagai legitimasi sistem politik.
Adapun
yang dapat diambil dari pemikiran- pemikiran Ibnu Khaldun adalah dalam mempraktikkan
keempat peran agama dalam bernegara tersebut diperlukan keseimbangan. Kenyataan
sejarah membuktikan adanya pasang surutnya politik Islam juga karena keempat
faktor tersebut tidak diposisikan pada
rel sebenarnya. Termasuk fanatisme doktrin agama yang berakibat pada agama
hanya sekadar legitimasi politik belaka.[6]
Tujuan dan
Unsur- Unsur Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan
dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang
disepakati bersama. Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain :
a.
Bertujuan
untuk memperluas kekuasaan
b.
Bertujuan
menyelenggarakan ketertiban hukum
c.
Bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan umum
Dalam
negara Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan negara adalah
agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan
menjaga intervensi pihak- pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep
sosio-historis bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara
individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Sementara menurut
Ibnu Khladun, tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan
dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.[7]
Unsur- Unsur Negara
Dalam
rumusan Konvensi Montevideo tahun 1933 disebutkan bahwa suatu negara harus
memiliki unsur penting, yaitu :
a.
Rakyat (masyarakat / warga negara), Rakyat dalam
pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan
oleh suatu rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.
Tidak bisa dibayangkan jika suatu negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat
atau warga negara adalah substratum personil dari negara.
b.
Wilayah, wilayah adalah
unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada
batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum wilayah dalam sebuah negara
biasanya mencakup daratan, perairan (samudra, laut dan sungai) dan udara. Dalam
konsep negara modern, masing-masing batas wilayah tersebut di atur dalam
perjanjian dan perundang-undangan internasional.
c.
Pemerintah,[8] Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin
organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara.
Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum,
melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam
rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam. Secara umum
pemerintahan terbagi dalam dua bentuk, parlementer dan presidentil. Negara
dengan sistem presidentil berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala
negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Sementara Negara dengan sistem
parlementer mempunyai presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri
sebagai kepala pemerintahan.
d.
Pengakuan Negara Lain, ada
dua macam pengakuan atas suatu negara, yaitu pengakuan de facto dan
pengakuan de jure. Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta
adanya negara. Pengakuan tersebut didasarkan adanya fakta bahwa suatu
masyarakat politik telah memenuhi 3 unsur utama negara (wilayah, rakyat dan
pemerintah yang berdaulat). Sedangkan pengakuan de jure merupakan
pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut
hukum.[9]
Teori Terbentuknya Negara dan Bentuk-Bentuk Negara
Banyak dijumpai teori tentang
terbentuknya sebuah Negara, Diantara teori-teori tersebut adalah :
a.
Teori
Kontrak Sosial (Social Contract), Teori
kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa Negara
dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dan tradisi sosial
masyarakat. Teori ini meletakkan untuk tidak berpotensi menjadi Negara tirani,
karena berlangsungnya berdasar pada kontrak-kontrak antar warga Negara dengan
lembaga Negara.
b.
Teori
Ketuhanan (Teokrasi), Teori Ketuhanan
dikenal juga dengan istilah doktrin teokratis. Teori ini ditemukan baik di
timur maupun di belahan dunia barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya
yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sejarah Eropa pada abad pertengahan
yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja.
Doktrin memiliki pandangan bahwa hak pemerintah yang di miliki para raja
berasal dari tuhan. Mereka mendapat mandat dari tuhan untuk bertahta sebagai
penguasa. Praktik kekuasaan model ini di tentang oleh kalangan monar chomach
(penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat di turunkan dari mahkotanya,
bahkan dapat di bunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
c.
Teori
Kekuasaan, Secara
sederhana teori ini dapat di artikan bahwa negara terbentuk karena adanya
dominasi Negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi
pembenaran (rasion d’ektre) dari terbentuknya sebuah negara, melalui proses
penaklukan dan penduduk oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu di
mulailah proses pembentukan suatu Negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu
Negara karena pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk
membentuk sebuah Negara.[10]
Bentuk- Bentuk
Negara
Negara
memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum dalam konsep dan teori modern
negara terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Negara Kesatuan (Unitarianisme)
dan Negara Serikat (Federasi).
a.
Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan
berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh
daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam 2
macam sistem pemerintahan: Sentral dan Otonomi.
1)
Negara
Kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung di
pimpin oleh Pemerintahan Pusat, sementara pemerintahan daerah di bawahnya
melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat.
2)
Negara
Kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan
dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem
ini di kenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra.
b.
Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabunagan yang
terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah Negara Serikat.
Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme
pemilihannya, bentuk negara dapat di golongkan ke dalam 3 kelompok : Monarki,
Oligarki, dan Demokrasi.
a.
Monarki adalah model
pemerintahan yang di kepalai oleh raja atau ratu. Monarki memiliki dua jenis :
Monarki Absolut dan Monarki Konstitusional.
Monarki Absolut adalah model
pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu.
Contoh: Arab Saudi. Sedangkan Monarki Konstitusional adalah bentuk
pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya (raja atau ratu) dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Contoh: Inggris, Jepang, Thailand,
Yordania, dan lain-lain.
b.
Oligarki adalah
pemerintahan yang di jalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan
atau kelompok tertentu.
c.
Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan
kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum
(pemilu) yang berlangsung jujur, bebas, aman, dan adil.[11]
Kelemahan
pemerintahan model demokrasi antara lain :
a.
Para
pemerintah yang mengatasnamakan wakil rakyat akan terus berusaha mempertahankan
kedudukannya dengan berbagai macam dalih, seperti dalih konsensus nasional dan
secara bersamaan memojokkan kaum oposisi yang berusaha menjatuhkannya dengan
dalih disloyalitas pada Negara.
b.
Suara
mayoritas, yang kerap kali menentukan keputusan akhir dalam sistem demokrasi,
sering kali menjurus kepada kesalahan-kesalahan yang fatal karena pemerintah
kerap “mendoktrin” rakyat dengan hal-hal yang berakibat buruk dalam berjalannya
sistem suatu negara.
Konsep Relasi Agama Dan Negara- negara Islam Dalam Politik Global
Agar memahami aspek politik global kita harus keluar dari pola-pola
dan aksi dan rekasi serta berbagai peristiwa yang sangat kompleks yang
mendominasi bidang politik saat ini.[12]
Dalam Islam, hubungan agama dengan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang
di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan, menurut Azra, perdebatan itu
telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsungan hingga dewasa ini.
Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh
hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah).
Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan
kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal
sangat beragam.
Dalam lintasan historis Islam,
hubungan agama dengan negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat
beragam. Banyak para ulama tradisional yang beragumentasi bahwa Islam merupakan
sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam
memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang
politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan
antara agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi
Muhammad Saw ketika berada di Madinah yang membangun sistem pemerintahan dalam
sebuah negara kota (city state). Di Madinah Rasulullah Saw berperan
sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
Menurut Muhammad Husein Haikal,
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang di berikan oleh Al-Qur’an
dan al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan.[13]
Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritisi politik Islam di
temukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan
negara dalam politik global, antara lain dapat dirangkum ke dalam 3 (tiga)
paradigma, yakni :
a.
Paradigma Integralistik, merupakan
paham dan konsep hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan
negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya
merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan
pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga
agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan
antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan teokrasi.
b.
Paradigma Simbiotik, Menurut
konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat
timbal balik. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen
dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga
memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral,
etika, dan spiritualitas.
c.
Paradigma Sekularistik, Paradigma
ini beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara agama dan
negara. Agama dan negara adalah dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memilki satu garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus di
pisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada
pemahaman yang dikotomois ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang betul- betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan
tidak ada kaitannya dengan hukum agama (syari’ah).[14]
Negara-negara Islam Dalam Politik Global
Negara-negara Islam merupakan sistem negara-negara yang khas dan
diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu
sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya (Al
Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi),” Sabda Nabi.
Berbicara tentang negara-negara
Islam berarti berbicara tentang proses, berbicara tentang proses, struktur, dan
fungsi. Proses adalah pola- pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama
lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis
umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam
sistem politik menyangkut perbuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat
alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan
masyarakat. Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya
berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem
politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul karena
bersumber dari Allah Swt. Di antara keunggulan sistem negara-negara Islam
adalah :
1.
Istiqamah
Sistem negara- negara Islam memiliki karakter istiqamah;[15]
artinya bersifat langgeng, kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam
sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung pada kehendak manusia.
Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk
orang lain, tetapi bukan untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh
memiliki nuklir, tetapi Israel dan AS tidak mengapa; setiap negara tidak boleh
mencampuri urusan negara lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan
pre emptive. Sistem seprti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya
bergantung pada kehendak dan tolak ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah,
bahkan dapat saling bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah; atau
sekarang terpuji lain waktu tercela.
Berbeda dengan isu, sistem negara-negara Islam berdiri tegar tak
lekang ditelan zaman. Ini karena sistem negara- negara Islam bukan lahir dari
logika dan kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus yang berasal dari
Allah Swt untuk kemaslahatan umat. (Lihat QS al-An’am : 153).
Dalam konteks kenegaraan, sistem negara- negara Islam di bangun di
atas landasan yang istiqamah, yakni :
a)
Kedaulatan
ada di tangan syari’ah;
b)
Kekuasaan
ada di tangan rakyat;
c)
Wajib
hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
d)
Hanya
khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari
Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan
rakyat atau antar pelaku politik maka harus di kemblikan tolak ukurnya kepada
Allah Swt dan Rasul Saw; kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur
sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin
keistiqamahan sistem politik Islam.
2.
Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.[16]
Di
antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap wargan
negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan
nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat. Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah
satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah
masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam di terapkan, warga
negaranya, baik Muslim maupun Non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini
terwujud melalui pendekatan multidimensi.
a.
Pertama;
sistem negara Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiyah.
Rasul berkali-kali menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah
Muslim yang tetangganya selamat dari lisan dan tangannya. Bahkan siapa saja
yang menyakiti kafir zimmi diibaratkannya sebagai menyakiti beliau. Penjagaan
keamanan dikaitkan dengan pahala dan siksa. Akibatnya, muncullah dorongan taqwa
dalam diri individu untuk senantiasa mewujudkan keamanan, baik bagi diri,
masyarakat maupun negara. Kekuatan internal inilah yang mengokohkan terwujudnya
keamanan. Landasan ruhiyah seperti ini tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem
selain Islam hanya menyandarkan aspek keamanan pada kepentingan.
b.
Kedua; mengharuskan
masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada perusak keamanan.
Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan terhadap keamanan, diperintahkan
untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan,
maupun dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan kerusakan yang
ada diumpamakan Nabi Saw. sebagai menenggelamkan seluruh masyarakat. Masyarakat di
ibaratkan Rasul sebagai kumpulan orang
yang sedang menumpangi kapal di lautan. Jika sebagian mereka melakukan
kejahatan dengan melobangi kapal tersebut tanpa dicegah, maka semua penumpang
akan karam. Bahkan, mati mempertahankan keamanan harta, kehormatan dan nyawa
dari para perusak keamanan dipandang sebagai syahid Hal demikian tidak dimiliki
oleh sistem di luar Islam.
c.
Ketiga, makna
kebahagiaan yang khas.[17]
Allah Swt telah menetapkan makna kebahagiaan adalah tercapainya ridha Allah.
Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari ridha Allah Swt.
Untuk apa memiliki kekuasaan jika di gunakan untuk menjauhkan diri dan
masyarakat dari ridha Allah.Walhasil, mafhum kebahagiaan demikian mendorong
setiap orang untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya
adalah memberikan keamanan bagi orang lain.
d.
Keempat, menutup pintu
kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah tindak kriminal.
Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt melarang tindak
kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem negara
Islam tidak mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun di
haramkan mencuri, merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi,
mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga mengharakamkan zina dan perkosaan. Tidak
ada cerita dalam Islam yang mentoleransi menggunakan perempuan sebagai umpan
dan modal dalam transaksi ekonomi maupun bergaining politik. Hal ini berbeda
secara diametral dengan sistem politik sekular.
3.
Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem negara Islam adalah
hubungan ideologi. Kedua belah pihak saling berakad dalam bai’at untuk
menerapkan syariat Islam. Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya.
Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama
tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa
akan melakukan pengurusan (ri’ayah) terhadap umatnya melalui: (a) penerapan
sistem Islam secara baik: (b) selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di
segala bidang; dan (c) melindungi rakyat dari ancaman. Nabi saw. bersabda (yang
artinya): Sesungguhnya seorang (imam) pemimpin itu merupakan pelindung. Dia
bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi
perlindungan kepada orang-orang Islam (HR. al-Bukhari)
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka
terdapat kewajiban terhadap pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad bai’at.
Karenanya, rakyat berperan untuk: (a) melaksanakan kebijakan penguasa yang
sesuai denagn syariat demi kepentingan rakyat; (b) menjaga kelangsungan
pemerintahan dan semua urusan secara syar’I (larangan keluar dari penguasa,
perintah memerangi bughat, dsb); dan (c) memberikan masukan kepada penguasa;
mengontrol dan mengoreksi penguasa. Dengan adanya hak sekaligus kewajiban
wargta negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashih), dan koreksi
terhadap penguasa (muhasabah al-hukkam) akan terjamin penerapan sistem Islam
secara baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut, hubungan rakyat dengan penguasa dalam
sistem negara-negara Islam adalah hubungan antara sesama hamba Allah Swt, yang
sama- sama menerangkan kewajibannya dalam fungsi yang berbeda. Hubungan antara
keduanya merupakan hubungan sinergis, fokus dan saling mengokohkan untuk
penerapan syari’ah demi kemaslahatan rakyat. Sungguh pemandangan demikian amat
sulit ditemukan dalam sistem negara-negara selain negara Islam.
Kesimpulan
Dari pembahasan tentang negara- negara Islamdalam politik global
dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai beikut: Dalam konsepsi Islam,
menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumus yang pasti (qathi’)
tentang konsep negara Islam. Dua sumber Islam, al-Qur’an dan Al-Sunnah,
tidak secara tersurat mendefinisikan model negara Islam. Meskipun demikian,
Islam mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya negara itu
dibangun dan dibesarkan.
Hubungan negara-negara Islam dalam
politik dunia global menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah
antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada
pemisihan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan
segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara
punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan
negara-negara Islam dalam politik global menganut apa yang sering disebut oleh
banyak kalangan sebagai hubungan mutualisme-simbiotik.
Oleh : H. Marhaban,MA
*)
*) Dosen STAIN
Zawiyah Cot Kala Langsa-Aceh sedang menyelesaikan study S3 Program Doktor
Institus Agama Islam Sumatera Utara Program Study Agama dan Filsafat Islam
(AFI)
Daftar Bacaan
Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
Hidayah, Komarudin & Azyumardi
Azra. 2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Raliby, Osman. Ibnu Khaldun
tentang Masyarakat Negara. 1962. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafiie,
Inu Kencana & Andi Azikin. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung:
refika Aditama.
Syafiuddin. 2007. Negara Islam
menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.
[1]
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006, hlm. 24-25.
[2] M.
Dhiuddin Rais, an-Nazhariyah as-Siyasatul Islamiyah, terjemahan, Teori
Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, cet I, 2001, hal 72.
[3]
Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, Terjemahan, Satu
Agama atau Banyak Agama,Jakarta: Lentera cet I, 2002, hlm. 180.
[4]
Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Prenada Media, 2000, hlm. 42-43.
[5]
Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat Negara. Jakarta: Bulan
Bintang, 1962, hlm. 148-149
[6]
Syafiudin, Negara Islam menurut Konsep Ibnu khaldun, Yogyakarta: Gama
Media, 2007, hlm. 177-178.
[7]
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, ibid, hlm. 25-26
[8]
Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan Dalam Islam: Siyasah Dusturiyah Bandung:
Pustaka Setia, cet I, 2012, hlm. 300.
[9]
Komarudin Hidayat % Azyumardi Azra, Op cit, hlm. 27.
[10]
Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Op cit.,hlm. 30-33
[11]
Azyumardi Azra, Ibid, hlm. 56-58
[12]
Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Gaide to The Modern Word, terjemahan
Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Bandung: Mizan,
cet I, 1994, hlm. 198
[13]
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1993.
[14]
Azyumardi Azra, Op cit.,hlm. 61-64.
[15]
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity,
terjemahan pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung:Mizan cet
I, 2002, hlm. 367.
[16]
Seyyed Hosein Nasr, Tradisional Islam in the Modern Word, London New
York: Kegan Paul International, cet I, 1990, hlm. 299.
[17]
Oase Majalah Keluarga Islami No 13 Th 1 Oktober 2012, hlm. 130.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar