Minggu, 09 November 2014

HIEM ATJEH

1. Nyoe na saboh masa,alah
Cuba peuglah soe nyan pinta :
"Dua nyang tho peut nyang basah
Suci hadaih soe nyang bawa "
( TUENG IE SEUMBAHYANG )

2. " Na saboh kitab 365 on
Si on-on dua blaih banja
Sibanja-banja lhee ploh boh titek"
Soe nyang lisek cuba boh makna
( THON, BULEUEN, UROE )

3. "Na saboh cicem jipo u laot
Jingieng u likot aneuk jih kana
Jijak ngon jiwoe eumpeuenlam reugam"
Soe utoh pham cuba boh makna
( KALAM NGOEN DAWEUET )

4. Nyoe saboh treuk wahe adoe:
"Saboh nanggroe le that kuta
Lapeh nyang phon kuta taloe
Kuta beusoe nyang keudua
Silapeh treuk kuta pirak
Ie meugrumgrakdalam kuta"
( BOH U )

5. " saboh syiah geutron digle
Pajoh pade meugunca-gunca
Ladom geutueng, ladom geuboh
Ladom geusroh,Ladom seuba"
Cuba peugah hai budiman
Soe syiah nyan geuboh nama...?
( JEUNGKI )

Peukateun Urueng Aceh

Hiem
 
Disusun Kembali Oleh : T.A. Sakti
1. Guda plang rhot di langet!. Peue?.
2. Dijak meuranjo-ranjo,
Jime lham saboh sapo!. Peue?.
3. Jidong meuranjo-ranjo,
Tilam duek saboh sapo!. Peue?.
4. Bak sibak on sion,
Meuribee thon han mala-mala!. Peue?.
5. ‘et noe ‘et nan,
Polem Suman meuiseuk-iseuk!. Peue?.
6. Bak disanan on disanan,
Bak ujong bak geubalek nan!. Peue?.
7. Apui hu bak ranteng!. Peue?.
8. Ek gle tron gle,
Meuteumeung gajah meukude!. Peue?.
9. Leumo na tujoh blaih boh,
Saboh2 weue padum boh tapeulob?.
10.Boh ubebe alee,
On ubebe ji-eei!. Peue?.
11. Manok itam du,
Manok puteh po!. Peue?.
12.On ubebe eumpieng,
Boh kiwieng-kiwieng!. Peue?.
13. On mulieng meukru, on labu meu-ulat,
Rot barat ureueng beuet nah’u,
Rot timu ureueng seumurat!. Peue?.
( Jeunaweueb jih : 1. Situek, 2. Itek, 3. Tameh, 4. Aweuek, 5. Batee neupeh, 6. Boh jantong, 7. Campli masak, 8. Boh panah, 9. Suboh 2, Luho 4. ‘Asha 4, Meughreb 3, ‘Isya 4.     10. Boh putek- Bak putek, 11.Gapeueh, 12. Bak me, 13. Ureueng teumuleh,)

NEGARA- NEGARA ISLAM DALAM POLITIK GLOBAL

PENDAHULUAN
            Keberadaan suatu institusi yang bernama negara tidak dapat dielakkan, hal ini karena kodrat manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan perangkat yang menjadi ikatan kebersamaan dalam kontrak sosial antar manusia. Perangkat institusi yang bernama negara diharapkan menjadi wadah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa atau konflik dan menjaga kedamaian sosial. Dengan alasan tersebut, maka negara memiliki faktor penting dalam kehidupan manusia.
            Dalam politik global, hanya ada tiga kutub paradigma yaitu Paradigma Sosialisme Komunis, Paradigma Liberalisme Kapitalis, dan Paradigma Islam. Ideologi itu sendiri diterjemahkan sebagai sistem pedoman hidup yang menjadi cita-cita untuk dicapai oleh sebagian besar individu dalam masyarakat yang bersifat khusus, disusun secara sadar oleh para tokoh pemikir negara, dan kemudian menyebarluaskannya secara resmi sebagai Dasar Negara.
            Sistem negara-negara Islam sangat jauh berbeda dengan sistem negara-negara yang bukan Islam dalam politik global. Negara Islam memiliki tafsiran dan bentuk yang khusus dan istimewa tentang pemerintahan. Tafsirannya jauh lebih bijaksana dan adil dari pada ajaran-ajaran lainnya. Hal ini mungkin tidak jelas kalau kita bandingkan dengan negara-negara Islam yang ada di dunia hari ini. Sebab negara-negara Islam hari ini tidak menjalankan Islam yang syumul (menyeluruh). Mereka tidak mengikuti jejak sejarah kegemilangan Islam di zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin.
            Negara-negara Islam dalam sistem pemerintahan yang menggunakan Al Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan dalam semua  aspek hidup, seperti dasar undang-undang, mahkamah perundangan, kebajikan, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain-lain. Dasar negaranya adalah Al Qur’an dan Sunnah. Para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahannya adalah orang-orang baik, bertanggung jawab, jujur, amanah, adil, berakhlak mulia dan bertakwa.
            Maka dalam makalah yang sangat sederhana ini akan melihat lebih jauh mengenai negara-negara Islam dalam politik global.

Pengertian Negara-negara Islam
            Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari berbagai kata asing : state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman) atau etat (Prancis). Sedangkan secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan dan mempunyia pemerintah yang berdaulat.
            Menurut Roger H. Soltau, negara merupakan perpaduan antara alat (agency) dan wawenang (authority) yang mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Max Weber mendefinisikan negara dengan sebuah masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah.
            Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip-prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah melhirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran politik Islam.[1]
            Selain itu, konsep Islam tentang negara juga berasal dari (tiga) paradigma, yaitu :
a.       Paradigma tentang teori khilafah yang dipraktikkan sesudah Rasulullah Saw, terutama biasanya merujuk pada masa Khulafaur Rasyidin.
b.      Paradigma yang bersumber pada teori Imamah dalam paham Islam Syi’ah.
c.       Paradigma yang bersumber dari teori Imamah atau pemerintahan.[2]

Teori tentang Khilafah menurut Amien Rais, dipahami sebagai suatu misi kaum muslimin yang harus ditegakkan dimuka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah swt, maupun Rasul-Nya. Adapaun cara pelaksanaannya Al-Qur’an tidak menunjukkan secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Sedangkan untuk teori Imamah, Amien lebuh lanjut mengatakan bahwa kata Imamah (dalam pengertian negara/ state) dalam al-Qur’an tidak tertulis.
Imam Mawardi mengatakan : “Imamah adalah suatu kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia”. Bagi Ibnu Khaldun, institusi khilafah atau imamah adalah lembaga politik yang memerintah rakyat sesuai dengan peraturan syariah agama untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Karena kemaslahatan akhirnya adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpedoman kepada syariah.
Sedangkan Islam (bahasa Arab, al-islam, الاسلام “berserah diri kepada Tuhan”) adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut diseluruh dunia, menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim, adapun lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi dan Rasul terakhir yang di utus kedunia oleh Allah. Dan tidak dibenarkan mencari agama selain agama Islam, Qs Ali Imran : 85,[3]
Islam adalah agama terbesar kedua setelah kristen. Menurut sebuah studi demografis, Islam memiliki 1,57 milyar pengikut, membuat naik 23% dari populasi dunia. Islam adalah agama dominan di Timjur Tengah, di Afrika, di utara Afrika dan dalam beberapa negara di Asia, komunitas besar muslim juga ditemukan di China, Balkan dan Russia. Bagian lain dari dunia tuan komunitas besar Imigran muslim di Eropa Barat. Misalnya, Islam adalah agama terbesar kedua setelah Kristen, meskipun mewakili kurang dari 5% dari total populasi.
Sekitar 50 Negara mayoritas Muslim, sekitar dari 62% dari dunia Muslim tinggal di Asia, dengan lebih dari 683.000.000 pengikut, Negara Muslim terbesar adalah Indonesia rumah bagi 12,9% muslim di dunia, diikuti oleh Pakistan, India dan Bangladesh, sekitar 20% muslim tinggal di negara-negara Arab. Di Timur Tengah non-negara Arab dari Turki dan Iran adalah mayoritas muslim terbesar, negara di Afrika, Mesir dan Nigeria memiliki komunitas muslim terbesar di dunia.
Sebuah studi demografi yang di lakukan oleh Pew Reseach Senter pada bulan Oktober 2009 menemukan bahwa ada 1,57 muslim di seluruh dunia, akuntansi darisekitar 1 dari 4 orang. Studi ini menemukan lebih banyak muslim di Jerman dari pada di Libanon, dan lebih di China dari pada di Suriah.
Maka dapatlah di pahami bahwasanya negara-negara Islam adalah suatu daerah teritorial  yang rakyatnya di perintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warga negaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist.[4]

Bentuk Negara Islam
            Suatu negara disebut sebagai Negara Islam jika memberlakukan hukum Islam. Dengan kata lain, pelaksanaan hukum Islam merupakan prasyarat formal dan utama bagi eksistensinya Negara Islam. Sejarah telah mencatat bahwa abad ke-15 hingga 20 merupakan fase ketika  Eropa berdiaspora dan menyebar ke dunia Timur dalam  rangka imperialisasi dan kolonialisasi. Secara tidak langsung, ekspansi Eropa ini telah memberikan andil terhadap kebangkitan Islam, yaitu membidangi lahirnya sederetan tokoh-tokoh pembaharu Islam. Fokus pergerakan mereka tidak hanya menumpaskan penjajahan, tetapi juga mendirikan kerangka atau konsep dasar tentang negara yang dilandasi oleh agama.
            Rasulullah Saw bersabda: “Dahulu bani Israil dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikanoleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. (tetapi) nanti akan ada para Khulafa dan jumlahnya akan banyak sekali”. (HR. Bukhari dan Muslim).
            Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah Saw bahwa tidak akan ada lagi nabi sesudah beliau, maka pengganti disini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar yang menyandang gelaran Khilafatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Ketua Negara). Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan pengertian Khalifah sebagai berikut: “Khalifah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk melaksanakan undang-undang Islam dan mengembangkan ajaran Islam ke seluruh pelosok dunia”.
            Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun menyatakan: “Hakikat Khalifah adalah Shahibus-Syar’I (yaitu seseorang yang bertugas memelihara dan melaksanakan syari’at) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia”. Tentang bentuk negara khalifah ini, Rasulullah Saw telah menegaskannya dalam Hadist riwayat al-Bazzar: “…kemudian akan muncul(kembali) Khilafah yang mengikuti jejak kenabian…”
            Berdasarkan penjelasan di atas, Islam mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif maupun praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi sampai runtuhnhya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924. Dengan demikian, tampaknya khilafah yang di maksudkan adalah bentuk kepemimpinan dari suatu pemerintahan Islam sebagai suatu kekuatan sosiorelegi politik umat dalam mencapai dua kepentingan hidupnya, yaitu kehidupan dunia dan akhirat.
            Jika telah diakui bahwa lembaga imamah itu adalah wajb menurut ijma’(konsesus umum), maka harus pula ditambahkan di sini, bahwa keperluan lembaga ini adalah satu fardl al-kifayah, dan mengenai itu terserah kepada ikhtiar dari pemuka-pemuka Islam yang kompeten (Ar. Ahl al-‘aqd wa al-hill). Adalah kewajiban mereka untuk berbuat agar imamah itu sendiri, dan setiap orang wajib taat kepada Imam sesuai dengan perintah Al-Qur’an: “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan pada mereka yang dikuasakan di antara kamu!” (Al-Qur’an IV:59). Lembaga Imamah itu mempunyai 4 syarat, yaitu :
a.       Ilmu Pengetahuan (Ar. Al-‘ilm), Imam hanya dapat melaksanakan hukum-hukum Allah itu jika ia mengetahui tentangnya.
b.      Keadilan (Ar. Al-‘adalah), hal ini perlu karena Imamah adalah satu lembaga keagamaan yang mengawasi segala lembaga-lembaga lainnya yang pula memerlukan keadilan.
c.       Kesanggupan (Ar Al-kifayah), berarti bahwa Imam bersedia melaksanakan hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang dan sedia pergi berperang.
d.      Kebebasan pancaindera dari sesuatu cacat yang dapat memberi bekas pada pengeluaran pendapat dan pekerjaan (Ar. As-salamah).[5]

Ibnu Khaldun mengutarakan peran penting agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menurutnya, apabila kekuatan agama berdampingan dengan solidaritas kelompok (‘ashabiyah), secara dialektis akan memberikan konstribusi besar dalam mewujudkan integritas kekuasaan politik. Sebaliknya, apabila agama dan ‘ashabiyah  dipertentangkan akan mempercepat munculnya disentegrasi suatu negara. Dari berbagai peranan tersebut, setidaknya empat peran agama yang besar andilnya dalam kehidupan bernegara sepanjang sejarah.
a.       Agama merupakan pedoman dan petunjuk agar senantiasa berada dalam bimbingan moral, hukum, dan etika.
b.      Agama sebagai pemersatu
c.       Agama sebagai pendorong keberhasilan
d.      Agama sebagai legitimasi sistem politik.
Adapun yang dapat diambil dari pemikiran- pemikiran Ibnu Khaldun adalah dalam mempraktikkan keempat peran agama dalam bernegara tersebut diperlukan keseimbangan. Kenyataan sejarah membuktikan adanya pasang surutnya politik Islam juga karena keempat faktor tersebut tidak diposisikan  pada rel sebenarnya. Termasuk fanatisme doktrin agama yang berakibat pada agama hanya sekadar legitimasi politik belaka.[6]

Tujuan dan Unsur- Unsur Negara
            Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan sebuah negara dapat bermacam-macam, antara lain :
a.       Bertujuan untuk memperluas kekuasaan
b.      Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum
c.       Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum

Dalam negara Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan negara adalah agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi pihak- pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep sosio-historis bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Sementara menurut Ibnu Khladun, tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.[7]

Unsur- Unsur Negara
            Dalam rumusan Konvensi Montevideo tahun 1933 disebutkan bahwa suatu negara harus memiliki unsur penting, yaitu :
a.       Rakyat (masyarakat / warga negara), Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh suatu rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika suatu negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personil dari negara.
b.      Wilayah, wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum wilayah dalam sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan (samudra, laut dan sungai) dan udara. Dalam konsep negara modern, masing-masing batas wilayah tersebut di atur dalam perjanjian dan perundang-undangan internasional.
c.       Pemerintah,[8] Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara. Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum, melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lainnya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam. Secara umum pemerintahan terbagi dalam dua bentuk, parlementer dan presidentil. Negara dengan sistem presidentil berbentuk republik dengan presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Sementara Negara dengan sistem parlementer mempunyai presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
d.      Pengakuan Negara Lain, ada dua macam pengakuan atas suatu negara, yaitu pengakuan de facto dan pengakuan de jure. Pengakuan de facto, ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan tersebut didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi 3 unsur utama negara (wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat). Sedangkan pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum.[9]

Teori Terbentuknya Negara dan Bentuk-Bentuk Negara
            Banyak dijumpai teori tentang terbentuknya sebuah Negara, Diantara teori-teori tersebut adalah :
a.       Teori Kontrak Sosial (Social Contract), Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dan tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan untuk tidak berpotensi menjadi Negara tirani, karena berlangsungnya berdasar pada kontrak-kontrak antar warga Negara dengan lembaga Negara.
b.      Teori Ketuhanan (Teokrasi), Teori Ketuhanan dikenal juga dengan istilah doktrin teokratis. Teori ini ditemukan baik di timur maupun di belahan dunia barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sejarah Eropa pada abad pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja. Doktrin memiliki pandangan bahwa hak pemerintah yang di miliki para raja berasal dari tuhan. Mereka mendapat mandat dari tuhan untuk bertahta sebagai penguasa. Praktik kekuasaan model ini di tentang oleh kalangan monar chomach (penentang raja). Menurut mereka, raja tiran dapat di turunkan dari mahkotanya, bahkan dapat di bunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
c.       Teori Kekuasaan, Secara sederhana teori ini dapat di artikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi Negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (rasion d’ektre) dari terbentuknya sebuah negara, melalui proses penaklukan dan penduduk oleh suatu kelompok (etnis) atas kelompok tertentu di mulailah proses pembentukan suatu Negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu Negara karena pertarungan kekuatan dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah Negara.[10]

Bentuk- Bentuk Negara
            Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum dalam konsep dan teori modern negara terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Negara Kesatuan (Unitarianisme) dan Negara Serikat (Federasi).
a.    Negara Kesatuan
Negara Kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam 2 macam sistem pemerintahan: Sentral dan Otonomi.
1)      Negara Kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung di pimpin oleh Pemerintahan Pusat, sementara pemerintahan daerah di bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintahan pusat.
2)      Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayahnya sendiri. Sistem ini di kenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra.

b.   Negara Serikat (Federasi)
Negara Serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabunagan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah Negara Serikat.
Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat di golongkan ke dalam 3 kelompok : Monarki, Oligarki, dan Demokrasi.
a.       Monarki adalah model pemerintahan yang di kepalai oleh raja atau ratu. Monarki memiliki dua jenis : Monarki Absolut dan Monarki Konstitusional.
Monarki Absolut adalah model pemerintahan dengan kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Contoh: Arab Saudi. Sedangkan Monarki Konstitusional adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan kepala negaranya (raja atau ratu) dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Contoh: Inggris, Jepang, Thailand, Yordania, dan lain-lain.
b.      Oligarki adalah pemerintahan yang di jalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
c.       Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang berlangsung jujur, bebas, aman, dan adil.[11]

Kelemahan pemerintahan model demokrasi antara lain :
a.       Para pemerintah yang mengatasnamakan wakil rakyat akan terus berusaha mempertahankan kedudukannya dengan berbagai macam dalih, seperti dalih konsensus nasional dan secara bersamaan memojokkan kaum oposisi yang berusaha menjatuhkannya dengan dalih disloyalitas pada Negara.
b.      Suara mayoritas, yang kerap kali menentukan keputusan akhir dalam sistem demokrasi, sering kali menjurus kepada kesalahan-kesalahan yang fatal karena pemerintah kerap “mendoktrin” rakyat dengan hal-hal yang berakibat buruk dalam berjalannya sistem suatu negara.

Konsep Relasi Agama Dan Negara- negara Islam Dalam Politik Global
            Agar memahami aspek politik global kita harus keluar dari pola-pola dan aksi dan rekasi serta berbagai peristiwa yang sangat kompleks yang mendominasi bidang politik saat ini.[12] Dalam Islam, hubungan agama dengan negara menjadi perdebatan yang cukup panjang di antara para pakar Islam hingga kini. Bahkan, menurut Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsungan hingga dewasa ini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (daulah). Berbagai eksperimen dilakukan dalam menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim, dan eksperimen tersebut dalam banyak hal sangat beragam.
            Dalam lintasan historis Islam, hubungan agama dengan negara dan sistem politik menunjukkan fakta yang sangat beragam. Banyak para ulama tradisional yang beragumentasi bahwa Islam merupakan sistem kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik. Dari sudut pandang ini maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad Saw ketika berada di Madinah yang membangun sistem pemerintahan dalam sebuah negara kota (city state). Di Madinah Rasulullah Saw berperan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala agama.
            Menurut Muhammad Husein Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang di berikan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan.[13]
Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritisi politik Islam di temukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara dalam politik global, antara lain dapat dirangkum ke dalam 3 (tiga) paradigma, yakni :
a.      Paradigma Integralistik, merupakan paham dan konsep hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara. Konsep seperti ini sama dengan teokrasi.
b.      Paradigma Simbiotik, Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
c.       Paradigma Sekularistik, Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara agama dan negara. Agama dan negara adalah dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memilki satu garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus di pisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomois ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul- betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama (syari’ah).[14]

Negara-negara Islam Dalam Politik Global
            Negara-negara Islam merupakan sistem negara-negara yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini terkait dengan Islam itu sendiri. “Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat mengunggulinya (Al Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaihi),” Sabda Nabi.
            Berbicara tentang negara-negara Islam berarti berbicara tentang proses, berbicara tentang proses, struktur, dan fungsi. Proses adalah pola- pola yang mengatur hubungan antar manusia satu sama lain. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal dan informal seperti majelis umat, partai politik, khalifah, dan jaringan komunikasi. Adapun fungsi dalam sistem politik menyangkut perbuatan berbagai keputusan kebijakan yang mengikat alokasi nilai. Keputusan kebijakan ini diarahkan pada tercapainya kepentingan masyarakat. Proses, struktur, dan fungsi dalam sistem politik Islam semuanya berdasarkan pada ajaran Islam yang bersumber dari wahyu. Karena itu, sistem politik Islam, termasuk konsep kenegaraannya, menjadi sistem yang unggul karena bersumber dari Allah Swt. Di antara keunggulan sistem negara-negara Islam adalah :
1.      Istiqamah 
Sistem negara- negara Islam memiliki karakter istiqamah;[15] artinya bersifat langgeng, kontinu, dan lestari di jalannya yang lurus. Dalam sistem demokrasi, misalnya, sistem politik bergantung pada kehendak manusia. Perubahan nilai dan inkonsistensi pun terjadi. Hal yang sama bisa berlaku untuk orang lain, tetapi bukan untuk negara tertentu. Misalnya, Iran tidak boleh memiliki nuklir, tetapi Israel dan AS tidak mengapa; setiap negara tidak boleh mencampuri urusan negara lain, kecuali AS dan sekutunya yang dapat menerapkan pre emptive. Sistem seprti ini tidaklah istiqamah. Betapa tidak; semuanya bergantung pada kehendak dan tolak ukur manusia yang senantiasa berubah-ubah, bahkan dapat saling bertolak belakang. Sekarang benar, nanti salah; atau sekarang terpuji lain waktu tercela.
Berbeda dengan isu, sistem negara-negara Islam berdiri tegar tak lekang ditelan zaman. Ini karena sistem negara- negara Islam bukan lahir dari logika dan kepentingan sesaat manusia, namun jalan lurus yang berasal dari Allah Swt untuk kemaslahatan umat. (Lihat QS al-An’am : 153).
Dalam konteks kenegaraan, sistem negara- negara Islam di bangun di atas landasan yang istiqamah, yakni :
a)      Kedaulatan ada di tangan syari’ah;
b)      Kekuasaan ada di tangan rakyat;
c)      Wajib hanya memiliki satu kepemimpinan dunia; dan
d)     Hanya khalifah yang berhak melegalisasi perundang-undangan dengan bersumber dari Islam berdasarkan ijtihad. Jika terdapat perselisihan di antara negara dengan rakyat atau antar pelaku politik maka harus di kemblikan tolak ukurnya kepada Allah Swt dan Rasul Saw; kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah tolak ukur sekaligus landasan yang tetap, tidak berubah. Ini pulalah yang menjamin keistiqamahan sistem politik Islam.

2.      Mewujudkan ketenteraman secara kontinu.[16]
Di antara fungsi sistem politik adalah mewujudkan ketenteraman. Setiap wargan negara harus terjamin ketenteramannya. Tanpa ketenteraman, kehidupan tak akan nyaman. Ketenteraman merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Islam sangat memperhatikan hal ini. Salah satu ajaran penting Islam adalah mewujudkan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Sejarah menunjukkan bagaimana saat Islam di terapkan, warga negaranya, baik Muslim maupun Non-Muslim, hidup dalam keamanan. Hal ini terwujud melalui pendekatan multidimensi.
a.       Pertama; sistem negara Islam mengaitkan aspek keamanan dengan aspek ruhiyah. Rasul berkali-kali menegaskan bahwa di antara ciri Muslim yang baik adalah Muslim yang tetangganya selamat dari lisan dan tangannya. Bahkan siapa saja yang menyakiti kafir zimmi diibaratkannya sebagai menyakiti beliau. Penjagaan keamanan dikaitkan dengan pahala dan siksa. Akibatnya, muncullah dorongan taqwa dalam diri individu untuk senantiasa mewujudkan keamanan, baik bagi diri, masyarakat maupun negara. Kekuatan internal inilah yang mengokohkan terwujudnya keamanan. Landasan ruhiyah seperti ini tidak ditemukan pada sistem lain. Sistem selain Islam hanya menyandarkan aspek keamanan pada kepentingan.

b.      Kedua; mengharuskan masyarakat untuk menjaga keamanan dan bersikap keras kepada perusak keamanan. Setiap kemungkaran yang ada, termasuk gangguan terhadap keamanan, diperintahkan untuk dihilangkan oleh siapapun yang melihatnya; baik dengan kekuatan, lisan, maupun dengan hati melalui sikap penolakan. Bahkan, membiarkan kerusakan yang ada diumpamakan Nabi Saw. sebagai menenggelamkan  seluruh masyarakat. Masyarakat di ibaratkan  Rasul sebagai kumpulan orang yang sedang menumpangi kapal di lautan. Jika sebagian mereka melakukan kejahatan dengan melobangi kapal tersebut tanpa dicegah, maka semua penumpang akan karam. Bahkan, mati mempertahankan keamanan harta, kehormatan dan nyawa dari para perusak keamanan dipandang sebagai syahid Hal demikian tidak dimiliki oleh sistem di luar Islam.

c.       Ketiga, makna kebahagiaan yang khas.[17] Allah Swt telah menetapkan makna kebahagiaan adalah tercapainya ridha Allah. Berbagai limpahan materi hanyalah kepedihan jika jauh dari ridha Allah Swt. Untuk apa memiliki kekuasaan jika di gunakan untuk menjauhkan diri dan masyarakat dari ridha Allah.Walhasil, mafhum kebahagiaan demikian mendorong setiap orang untuk mengejar ridha Allah dengan menaati-Nya. Salah satunya adalah memberikan keamanan bagi orang lain.

d.      Keempat, menutup pintu kriminal. Salah satu pintu datangnya gangguan keamanan adalah tindak kriminal. Dalam konteks ini, Islam mencegahnya dengan jitu. Allah Swt melarang tindak kriminal dengan motif apapun, termasuk untuk kepentingan politik. Sistem negara Islam tidak mengenal paham machiavelis (menghalalkan segala cara). Siapapun di haramkan mencuri, merampok, membunuh, merampok harta negara, korupsi, mengintimidasi rakyat, dll. Islam juga mengharakamkan zina dan perkosaan. Tidak ada cerita dalam Islam yang mentoleransi menggunakan perempuan sebagai umpan dan modal dalam transaksi ekonomi maupun bergaining politik. Hal ini berbeda secara diametral dengan sistem politik sekular.

3.      Menciptakan hubungan ideologis penguasa dengan rakyat.
Hubungan penguasa dengan rakyat dalam sistem negara Islam adalah hubungan ideologi. Kedua belah pihak saling berakad dalam bai’at untuk menerapkan syariat Islam. Penguasa bertanggung jawab dalam penegakkannya. Sebaliknya, rakyat membantu penguasa sekuat tenaga, taat kepadanya, selama tidak menyimpang dari Islam. Berdasarkan hubungan ideologis inilah penguasa akan melakukan pengurusan (ri’ayah) terhadap umatnya melalui: (a) penerapan sistem Islam secara baik: (b) selalu memperhatikan kemajuan masyarakat di segala bidang; dan (c) melindungi rakyat dari ancaman. Nabi saw. bersabda (yang artinya): Sesungguhnya seorang (imam) pemimpin itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang kafir dan orang zalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam (HR. al-Bukhari)
Pada sisi lain, rakyat tidaklah tinggal diam. Di pundak mereka terdapat kewajiban terhadap pemimpin dan negaranya sesuai dengan akad bai’at. Karenanya, rakyat berperan untuk: (a) melaksanakan kebijakan penguasa yang sesuai denagn syariat demi kepentingan rakyat; (b) menjaga kelangsungan pemerintahan dan semua urusan secara syar’I (larangan keluar dari penguasa, perintah memerangi bughat, dsb); dan (c) memberikan masukan kepada penguasa; mengontrol dan mengoreksi penguasa. Dengan adanya hak sekaligus kewajiban wargta negara untuk memberikan nasihat, pelurusan (tashih), dan koreksi terhadap penguasa (muhasabah al-hukkam) akan terjamin penerapan sistem Islam secara baik di dalam negeri.
Merujuk pada hal tersebut, hubungan rakyat dengan penguasa dalam sistem negara-negara Islam adalah hubungan antara sesama hamba Allah Swt, yang sama- sama menerangkan kewajibannya dalam fungsi yang berbeda. Hubungan antara keduanya merupakan hubungan sinergis, fokus dan saling mengokohkan untuk penerapan syari’ah demi kemaslahatan rakyat. Sungguh pemandangan demikian amat sulit ditemukan dalam sistem negara-negara selain negara Islam.

Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang negara- negara Islamdalam politik global dalam makalah ini dapat disimpulkan sebagai beikut: Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik Islam modern, tidak ditemukan rumus yang pasti (qathi’) tentang konsep negara Islam. Dua sumber Islam, al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara Islam. Meskipun demikian, Islam mengajarkan banyak nilai dan etika bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.
            Hubungan negara-negara Islam dalam politik dunia global menganut pada asas keseimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Keseimbangan dinamis adalah tidak ada pemisihan agama dan politik, namun masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan negara-negara Islam dalam politik global menganut apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai hubungan mutualisme-simbiotik.


Oleh : H. Marhaban,MA *)

*) Dosen STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa-Aceh sedang menyelesaikan study S3 Program Doktor Institus Agama Islam Sumatera Utara Program Study Agama dan Filsafat Islam (AFI)
 


Daftar Bacaan
            Azra, Azyumardi. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media.
            Hidayah, Komarudin & Azyumardi Azra. 2006. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
            Raliby, Osman. Ibnu Khaldun tentang Masyarakat Negara. 1962. Jakarta: Bulan Bintang.
Syafiie, Inu Kencana & Andi Azikin. 2007. Perbandingan Pemerintahan. Bandung: refika Aditama.
            Syafiuddin. 2007. Negara Islam menurut Konsep Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Gama Media.


[1] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006, hlm. 24-25.
[2] M. Dhiuddin Rais, an-Nazhariyah as-Siyasatul Islamiyah, terjemahan, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, cet I, 2001, hal 72.
[3] Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism, Terjemahan, Satu Agama atau Banyak Agama,Jakarta: Lentera cet I, 2002, hlm. 180.
[4] Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000, hlm. 42-43.
[5] Osman Raliby, Ibnu Khaldun tentang Masyarakat Negara. Jakarta: Bulan Bintang, 1962, hlm. 148-149
[6] Syafiudin, Negara Islam menurut Konsep Ibnu khaldun, Yogyakarta: Gama Media, 2007, hlm. 177-178.
[7] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, ibid, hlm. 25-26
[8] Jubair Situmorang, Politik Ketatanegaraan Dalam Islam: Siyasah Dusturiyah Bandung: Pustaka Setia, cet I, 2012, hlm. 300.
[9] Komarudin Hidayat % Azyumardi Azra, Op cit, hlm. 27.
[10] Komarudin Hidayat & Azyumardi Azra, Op cit.,hlm. 30-33
[11] Azyumardi Azra, Ibid, hlm. 56-58
[12] Seyyed Hossein Nasr, A Young Muslim’s Gaide to The Modern Word, terjemahan Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim, Bandung: Mizan, cet I, 1994, hlm. 198
[13] Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993.
[14] Azyumardi Azra, Op cit.,hlm. 61-64.
[15] Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity, terjemahan pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung:Mizan cet I, 2002, hlm. 367.
[16] Seyyed Hosein Nasr, Tradisional Islam in the Modern Word, London New York: Kegan Paul International, cet I, 1990, hlm. 299.
[17] Oase Majalah Keluarga Islami No 13 Th 1 Oktober 2012, hlm. 130.